Sabtu, Mei 24, 2008

Homo Santrikus

Kemungkinan besar dari seorang santri adalah gagap dalam menilai sebuah dinamika sosial, kalau tidak terjebak pada sebuiah frame ekstrim radikalisme. Namun tentu setiap santri mempunyai pergulatan psikologi diluar pada umumnya manusia, karena santri mempunyai titik temu budaya yang dibangun dari proses asasi alami. Budaya yang lahir dari hasanah ilahiyyah, bukan budaya yang terbentuk dari konstruksi pemikiran yang berulang yang dicipta manusia.
Pertama, manusia dengan watak keduniawianya mencipta dirinya siap fight untuk sekedar menentukan hidup dan menuju mati. Bekerja, berinteraksi, menjadi masyakat social dan menemukan tatanan. Tentu tatanan ini menjadi ciri khas dari para santri. Karena dalam sub kulturnya para santri menjadi mainstream, bahkan oposisi kehidupan normal yang mendominasi. Karena dalam penilaian sekarang kehidupan dengan lingkar peraturan yang ketat, nilai agama yang tinggi dan bahkan dengan nalar mistis menjadi sebuah kehidupan yang konon abnormal, dibanding mereka yang bebas, rasionalis, atau memuja dunia materi dan mengesampingkan segala immateri.
Yang kedua, watak manusia yang mungkin tidak dimiliki oleh orang-orang pada umumnya. Yaitu masyarakat yang menghadirkan akherat sebagai tujuan yang hakiki. ‘walal akherotu khoirullaka minal ula’ segala kehidupan yang seharusnya rasional dan jasadi-pun akhirnya menjadi mistis. Dunia yang menjadi terminal akhir dari sekian perjalanan manusia yang dalam keyakinan berurut dan melingkar –Nur Muhammad-tanah-lahir-hidup-mati-kubur-akhrat-surga/neraka surg atau neraka adalah kembalinya manusia pada hakekat hidupnya menjadi ‘Muhammad’ (orang yang selamat) atau bukan.
Kedua keyakinan yang dijalani seorang santri tersebut membentuk karakter, tradisi dan budaya secara individu. Penjelajahan terhadap keyakinan yang dilarang, yang merupakan titik awal penjelajahan sejati seorang santri untuk menakhlukkan sesuatu diluar tubuh dan alam yaitu ‘rasa’. Sementara dalam dunia tasawwuf menghadirkan secara sadar (tahu) sebuah palarangan merupakan kemenangan besar seorang salik. Sementara menyalami dunia essensial merupakan titik awal seorang santri untuk menakhlukkan dirinya sendiri dalam jagad makro. Namun yang perlu digarisbawahi, santri sejauh pengembaraanya menemukan karakternya sendiri yang lain.

Kamis, Mei 22, 2008

Jeda Sachree

Sepotong kepala di kebun tebu

mengeja waktu mengisolasi dili dalam bungkaman
bertekuk pada hujatan panjang si rakus
rubah warnaku kasih,
biar aku menjadi hitam agar tak berbeda denganmu
rubah aku kawan agar aku tidak menjadi putih
agar pucat menyapaku
dalam kerontang (puasa) aku dapat bertemu Tuhan

senja itu bunga tebu nampak menjulang
ketika kukejar serpih kuntumnya yang tak lebih adalah kapas putih
langit menjejaki sinarnya pada ruas batang mungilnya yang menguning
dan selambaian daun menitikkan jiwanya.

taman tebu terbakar!
begitulah teriakmu dengan tangis
enampuluh tahun lalu ratusan mayat mati ditengahnya
tubuh terhujam runcing tajam pohon tebu
darah menggenangi parit-paritnya yang tersumbat daun kering
matimu, ketika terpenggal kepala bapakmu.

dalam bingkai gurat tua yang tak usai
sentuh jemariku, untuk merakit kembali masamu

pada sebatang pohon jati yang kini tumbuh di pohon tebu
kugali mayat-mayat buta
menebar mantra menghidupkan sukma
bersama mesin-mesin pendulang cinta
darah hijau
hijau darah
dengan selembar rindu kungkap berontak!

keempat perempuan yang kutemui

suatu hari aku baru saja menemukan dua sahabat perempuan, yang satu teman lamaku dan yang satu lagi teman baruku. dua perempuan itu menurutku memang perempuan ideal untuk zaman ini. sama-sama dari pesantren. mereka cerdas, pintar, kreatif, tangguh dan sangat idealis untuk memandang serangkaian pandangan sosial dan agamanya. aku memang sangat menyukai karakter perempuan semacam itu yang lebih lagi mereka selalu kritis dalam mengungkapkan pandanganya.
sebenarnya sih aku tidak begitu aneh, ketika aku kuliah dulu sering menjumpai orang seperti mereka sebagai sarjana sosial. selain itu aku juga sering bertemu dengan perempuan yang keras berteriak. perempuan dari kalangan manapun, berbasik pesantren, atau non pesantren, memakai kata 'emansipasi' atau 'kesetaraan gender' semua sama-sama ingin menunjukkan eksistensinya. bahwa kata perempuan ada atau tidak ada sejatinya sama dengan laki-laki, manusia. yah prototipe demikian memang menarik untuk dianalisa.
yang kedua aku juga bertemu dengan dua perempuan yang mereka juga sama-sama sahabatku, dan mereka juga sama-sama dari pesantren. mereka tangguh, kuat fisiknya, yang satu ikut dalam pembuatan jalan aspal di daerah jawa timur dan yang satu lagi adalah seorang TKI yang menjadi buruh di negeri orang. mereka cerdas bisa menyaring sebuah kultur budaya hingga ketika si TKI itu datang di negeriku dan ketemu aku mengungkapkan bagaimana kebiadaban si boss dan bagaimana penyerapan budaya dalam tubuh mereka yang tertolak oleh psikisnya.
sementara si pembuat jalan aspal itu, mengkritisi negaranya sendiri bagaimana korupsi dalam pembuatan jalan aspal.
keempat temanku itu semua sama, hanya masalah ekonomi sehingga kedua teman yang kedua mengetahui bagaimana posisinya sebagai perempuan di tengah sosialnya. sementara yang satau lagi secara tidak sadar menyeruakkan dirinya untuk sama dengan lelaki. keras. nah yang membuat mereka sama adalah dalam detak sekian detik ada kesadaran kritis bahwa agama mereka masih ada dalam jiwanya. setelah secara kritis ada pemberontakan, sistem, kultur tanpa batas,bias gender dan lain sebagainya.

entahlah ketika aku menulis ini aku ingin menjadi keempatnya. eit! tapi bukan menikahi keempatnya lho!

Jeda Sachree

Hologram diatas Makam


pada subuh kukumandangkan nyawa, laksanakan sebuah mimpi
lalu ketika dzauq terantuk lelangit, engkau menderingkan nyawaku
hidup dalam genggaman mesin
cinta berkubang huruf dan angka
jeritan tertahan, orgasme yang tak sampai

toh aku tak menidurimu kekasih
untuk sekedar melingkari nafsu, kita sanggul cinta atas nama Tuhan
toh aku tak memercikkan warna pada intan beningmu
sampai ketika mataku jatuh, kulitku lenyap engkau nyata
bergaris nyala, menyilangkan tiap ruas bahgiamu

dan diantara hilangku, pedang musuh membabatku.

zahwa,
telah kuurut sebuah nama dari cengkeraman waktu
hingga kutinggal jemariku diantara gigimu yang menyumbuiku.
sebuah kampung yang kusobek dalam petak telah menggelegak.
rindupun datang menyergap diantara perang ini

lebih dari satu perjalanan pada musim ini
lebih dari sepekan ketika kuhinggap pada puncak sinai
lebih dari sedetak jantung kuingatimu
lebih dari senyawa angin yang mendesir pada tubuhku
ketika aku mencintaimu diantara darah yang kutebar

ombak, batu dan sekerumunan orang-orang suci, aku pernah ada.

Senin, Mei 05, 2008

Surat Kepada Pak Polisi (Sedikit Cerpen Usang)

Tahun 2005 waktu itu ketika ada acara ulang tahun kota Yogyakarta, pada hari H acara, aku disuruh Mas Hamdi Salad untuk menjemput isteri beliau; Mbak Abidah El-Kaliqy ke tempat acara. Waktu itu aku menggunakan sepeda motor alfa 2R milik Mas Hamdi, kendaraan yang sudah menjadi TO (target operasi) semua polantas sepanjang jalan Solo. Karena aku juga tahu dengan keadaan motor yang sudah dihafal oleh semua polisi maka dengan pede jalan kutelusuri. Dari depan stadion Mandala Krida melaju terus menyusuri jalan Timoho, lalu masuk lampu merah depan UIN Sunan kalijaga masih aman, namun Naas ketika harus melewati lampu merah Janti, dari jauh sudah aku lihat lampu hijau akupun menambah gas agar bisa ngejar lampu hijau. Tapi memang naas ketika tiba sampai di lampu lalulintas itu justeru lampu merah, karena sudah kadung ngebut dan terburu-buru akupun lantas melaju terus.
Aku kira tidak ada polisi yang sudi mengejarku karena melihat kendaraan yang aku naiki, tapi malah kelihataaya polisi itu malah ngejar sambil ngejek dengan santainya, sambil mengendarai kendaraan Honda Tiger. Polisi yang kemudian aku ketahui bernama Pak Eko itu membuntutiku tanpa menambah gasnya sama sekali. Sementara motor yang aku naiki semakin aku tambah dan tambah,tapi huh. Aku tarik gas sampai mentog, tapi nampaknya muka pak polisi itu semakin tersenyum, wal hasil aku menyerah tanpa peringatan sama sekali, akupun minggir.
Seperti biasanya surat-menyurat ditanya tapi kali ini Pak Polisi Eko itu sudah tahu bahwa motor itu tanpa surat, dan akupun tanpa SIM. Hanya ada KTP satu-satunya identitas kewarganegaraanku, tapi hari itu KTP sudah menjadi pemilik rental VCD sebagai jaminan. Akhirny aku turut ke pos polisi Janti.
Di dalam Pos interograsi dimulai, namun segera aku berakting dengan muka keburu-buru lagi pula semua polisi di Pos Janti sudah hafal dengan motor yang aku tunggangi, bahwa motor itu milik si tubuh tegap Mas Hamdi Salad, yang tentu tak ber STNK. Sebagai tambahan legalitas aku beri alasan bahwa malam itu aku harus segera menjemput artis. Sang polisi hampir saja tertawa mendengar alasanku, tapi melihat profesiku sebagai penulis mungkin mereka menghargaiku. Akhirnya mereka sangat memaklumi dan membolehkan aku jalan terus tapi harus ada jaminan. Akupun meninggalkan hape Noklia 3310ku sebagai jaminan, setelah sebelumnya aku lihat pulsanya sebesar 2750.

Jumat, Mei 02, 2008

Sebuah Sistem Budaya yang Terbata-bata.


tanggal 23-27 april aku ke jakarta, untuk mengikuti acara World Book Day 2008. macam-macam acara diselenggerakan di tengah berkumpulnya sekian komunitas baca seluruh nusantara. kalau berbicara baca membaca rasanya kita tentu tidak bisa lari dari sastra dimana fungsi sastra itu sendiri adalah untuk mengajarkan manusia tentang baca-membaca, tulisan dan pengajaran.
okey mungkin sastra tidak begitu menarik lagi kalau kita melihat pada sisi datarnya, yang hanya utak dan atik bahasa dan kata-kata. tapi kemudian dapat kita sadari betapa sastra ternyata juga melahirkan sebuah wacana budaya, lihat saja bagaimana sastra 'selangkangan' beberapa tahun ini menjadai heboh hanya karena sebuah kata ditata dan kemudian menjadai cerita dari cerita itu ada makna baik tunggal maupun berangkai menyebut sesuatu yang bagi kita mungkin tabu, 'seks'. seks kita jadikan tabu karena kita makanai adalah sebuah peresetubuhan. sastra menjadai sangat penting ketika kita dann imaji yang menyatu dengan kita dihadapakan pada wilayah, putih, hitam, merah dan yang lainya. dari waran itu kemudian melahirkan sderet kebijakan dan undang-undang.
so, ada apa dengan sastra? rasanya baru kemaren aku meninggalkan sederet bait-bait puisi yang membuatku gila, lalu aku mencoba memahami prosa hingga melahirkan beberapa novel. belum selesai aku mencoba lari dari novel pop, rasanya semakin jauh ketika tiba-tiba diwajibkan harus berhati-hati jangan terjebak dengan sastra selangkangan. ada apa dengan sastra? aku tak peduli selangkangan,payudara,betis, kuku, rambut atau bahkan tidak kelihatan sama sekali karena berkerudung aku hanya menulis novel pesantren. lalu bagaimana jika aku bercerita seorang santriwati yang kabur dari pondok, naik pagar karena pagaranya tinggi diapun harus menaikkan roknya hingga kelihatan pahnya. sastra selangkangankah?
hari itu Ayu Utami memang mencoba melihat sastra pada posisi yang merdeka, dengan menjabarkan obyektifitas kepengaranganya, dengen menjabarakan secara detail arti seksualitas dan cara pandang masayarakat yang konon masih keliru terhadap perempuan. wacana klasik yang menerabas ke wilayah kata-kata. tapi aku meyakini bahwa tentu ada yang mereka idealkan tentang masyarakat indonesia, diantara masyarakat itu ada tetangga kita, ada keluarga kita dan diantara kelarga kita itu adalah saya dan anda.
saya semakin meraba setiap kata yang harus kutulis, bahwa satu huruf mempunyai kekuatan, ketika satu huruf menjadi satu buku diluarnya terhadapa jaringan yang akan mengantarkanya menjadai sistem budaya, perdagangan, politik, agama dan sosial. jika satu huruf itu secara bersama telah membentuk komunitas bukankah itu bagian dari mesin budaya.
lalu Novel Pesantren? aku nggak bisa njawab.

Kamis, Mei 01, 2008

Flashback World Book Day 2008


ada dua waktu dimana kita hidup di dalamnya. tapi yang terbaik adalah ketika kita bisa menghadapinya dengan arif dan bijaksana, tidak perlu emosi atau rendah diri. yang kita lakukan adalah mencoba menggali kembali makna hidup. begitulah ketika aku harus keluar masuk kota menuju beberapa tempat. suatau hari aku masuk di sebuah pesantren yang sangat terpencil, mereka selalu menggerutu tentang sesuatu yang sebenarnya bagi kita sangatlah kecil. buku.
ya mereka tidak begitu banyak mengenal buku, bukan karena pesantren melarang mereka untuk membaca buku, tapi kalau kita lihat lebih bijaksana beberapa hal diluar sistem yang mereka bangun yang masih diyakini (dan akupun meyakini) bagus terdapat sistem besar yang menempatkan mereka pada lingkup yang terkecil, terpencil dan jauh. lihat saja bagaimana jalan mereka belum diaspal oleh pemerintah lalu tiba-tiba sebuah minimarket berdiri angkuh menawarkan makanan siap sajai, padahal mereka tidak kelaparan.
pada hamparan kitab kuning, mereka dihadapkan pada sebuah gengsi yang semestinya itu tidak mesti ada. bersarung, kucel dan sikap sederhana justeru menjadikanya obyek empuk sistem apa saja, bisnis, politik, atau bahkan budaya.
aku tidak peduli mereka tidak bisa makan sushi dengan sumpit, atau mereka tak bisa naik eskalator untuk menuju ke sebuah kamar hotel lantai 5, tapi alangkah indahnya jika mereka hidup dengan berarak buku hingga mereka tidak perlu menanggalkan sarung hanya untuk sekedar masuk minimarket.

itu terjadi padaku.