Rabu, Mei 05, 2010

Prolog Love In Pesantren

PROLOG.

Novel ‘Love In pesantren’ berkisah tentang empat santri badung yang berusaha memahami makna hidup, di tengah puberitas dan lingkup social yang membentuknya. Dengan keterbatasan waktu, aturan pesantren dan keadaan naluriah sebagai anak manusia, mencipta konflik-konflik kecil dalam hidupnya. Dan dengan kacamata remaja pula, tidak jarang seorang santri mengedepankan ego-nya ketimbang kompromi-kompromi dan pemakluman atas tradisi dan ke’arifan local yang ada di pesantren. Pun sebaliknya ada segelintir orang tua di pesantren, yang kurang begitu memahami karakter dan perubahan pada santri. Dia selalu menjadikan diri dan proses hidupnya sebagai barometer ‘kesucian’ bagi santri-santrinya tanpa mempedulikan tantangan-tantangn santri yang sangat kompleks ketika dia berada dalam lingkup social yang homogen.
Dan yang jelas, di dalam Novel ‘Love In Pesantren’ sebagaimana remaja pada umumnya, kisah cinta tak bisa hilang dari ranah hidupnya, karena cintalah wilayah reflektif yang paling berkesan dan mendalam bagi remaja santri. Sentuhan-sentuhan kasih sayang, gejolak jiwa, proses mencari dan keadaan psikologis yang menuju arah kematangan mengantar remaja di pesantren mencipta kisah-kisah cintanya yang unik dan lain dari kisah remaja pada umumnya.

Rabu, Januari 14, 2009

Membaca Angka 509

Kembali aku mengais masa kecilku yang hingga detik ini mulai habis dalam ingatanku. Ya tiga buah deret angka lima,kosong dan sembilan.Angka dari sekian perjalanan yang selalu kuulang dan kuulang seumur hidupku untuk bertemu dengan angka itu. Pada serpih diaryku masih kuingat betul bagaimana titik idealismeku telah muncul, menjadi satu keinginan,hasrat dan cita-cita. Entah tiga angka yang merefleksikan sebuah kejahatan, dan kehancuran ketika tubuh menabrakkan pada realitas. Namun dengan kesadaranku muncul perkataan aku ingin menapakkan angka pada jantung hingga terbunuh seribu kali, dan ternyata berkali dari sekian waktu yang terbaca melalui gerak kreatifitasku, justeru aku terbekam dan terbungkam dalam angka itu.509.
Pernah kuungkit angka itu dalam sepenggal puisi ternyata secuil katapun tak mampu kutuliskan dalam puisi. Prosa?tiga angka jika kuurai dalam prosa cerpen apalagi novel justru melesat jauh dari huruf, bisa jadi novelku bercerita tentang sebuah cerita, tapi itu bukan angka 509 atau mungkin cerita tentang 509 tapi itu bukan bagian dari angka itu sendiri. Sederet angka mungkin dapat kubaca menjadi sekian jika aku disiplin dalam kalkulasi, bisa kutambahkan hingga menjadi14, tapi ternyata nurani keadilanku tak berpihak, bagaimana tidak jiga ternyata satu angka tidak terbaca dan tidak menghasilkan apa-apa. nol. Atau kukalikan mungkin menjadi empat puluh lima, 509 menjadi sangat sakral dan bercitra sejarah yang sangat tinggi, karena tahun empatpuluh lima nenek dan guruku selalu memperingatinya sebagi hari kemerdekaan. Tapi apa artinya hari sakral dalam empat lima itu kalau ternyata kembali nol tak memberi nilai. Sebagian dari tubuh yang kurunut tak meneriakkan kemerdekaan bahkan hanyut dalam hampa ya, karena nol.
Lalu apa 509? bertahun lamanya aku mengingat angka itu, bahkan seorang teman kecilku yang sekarang menjadi kuli di Jakarta selalu memakai angka itu sebagai simbol kekuatan, idealitas hidup dan konon karena angka itu dia menjadi preman dengan. Meski sebenarnya si teman kuliku itu tidak tahu apa-apa tentang arti dan makna angka itu. Di tatoo, tipe recorder, jacket bahkan pada kitab sucinya dia tulis angka itu.
Kembali aku menguak angka 509 tak penting arti dalam hitungan matematika atau idealitas dalam fiksi yang akan terbangun, namun bagiku tiga angka itu memberikan aku jalan kembali kepada jalan panjang semasa kecil yang pernah ku tapaki. Sebagai anak kreatif yang suka menggambar darah, celurit dan daun singkong. Meski aku bukan simpatisan kekerasan, apalagi berdarah-darah akibat kelalaian pemakai ganja.
Terima kasih usatadz di pesantrenku dulu karena telah menggambar daun singkong itu, aku ditakdzir hingga meneteskan airmata dan dalam buku BP aku bagian dari anak bandel yang nomer 341. Kembali angka menggelanyutiku....wallahu a'lam.

Minggu, Desember 21, 2008

Menapak Jeda

I’TIMAD

( jati diri manusia yang hilang )

Walau entah kemana arah kiblat kan kucanangkan
Tapi aku jelas bisa menatap titik putih sinar mata
Yang terus menggenangi ceruk di belahan jiwa
Hingga kuredupkan semua pada awan

Hari ini rasanya terlalu pagi
Seuntai melati kuikatkan untukmu
Karena embun tak juga dapat kuraup sejuknya

Pernah kau impikan aku di masjidmu
Kau rebahkan langit diatas batu untukku
Cintamu menyingkap raga busuk ini menjadi dewa
Dan ikhlasmu membelenggu para musafir
Yang agung oleh kelana bertaburan nama-nama

Aku unta yang tertatih menuju padangmu
Hingga punukku pecah berdarah
Pasir dan badai melahap dikedalaman kabut gelap

Wahai sang matahari dimana kau simpan panasmu
Untuk membakar kerinduan ini
Dan rembulan pulangkan aku pada setangkai dahan kelapa
Agar aku bisa menatap masa depan

Oh titik suci di dalam kalbu
Kusedekapakan tubuh pada angin
Separuh gelombang laut meridlokanya
Untuk mengingat bibirmu Yang ranum oleh pesona senja,
Kala membidik utuh tubuhmu

Diantara laut dan darat-Nya
Kubawa kau kembali merenda lentera-lentera di tengah laut
Malam itu para sufi melemparkanku dengan egoisnya
Pada mulut-mulut berliur penuh quldi

Dan kita….
Anggur kering yang kini basah oleh comberan
Tercampakkan dari taman surga
Berceloteh kebenaran yang membingungkan

Jogjakarta, 18 november 2002



Syahdan 22


Bertahun-tahun kuhempaskan diriku bersama peluh-peluh tangis
Atau memaksa diri menyanyi bersama filsuf
Melarutkan diri bersama bayang-bayang terguncang
Dan tak kubaca Dia, bahwa sinar itu adalah aku

Tak mampu kuucap ketika dewi zamroh itu mengejarku
Melambaikan tangan-tangannya yag suci
Mengepakkan syap-sayap perak menebar aroma cinta
Kitab sucikupun robek bersama luka-luka di hati

Cinta adalah akar tempat ku menggantungakan diri
Pohonnya yang rindang menyejukkan hati
Dan hari ini mata pisau menguliti dengan kebutaanya
Menbabat akar menumbangkan pohon-pohon

Atas nama tuhan dan kebebasan aku lepas
Berlaari tanpa batas,
Beretempat tanpa ruang,
Berdetak tanpa waktu

Msjd Besar Kauman Jogjakarta, 22 November 2002


MEMBELAH BUMI TUHAN

Aku berhutang kepadamu langit
Yang telah kau turunkan hujan-hujan
Kau tampung tangis dan kesedihan
Sehingga mawar membisu basah oleh embun yang kau ciptakan

Berapa gunung emas harus kubayar
Akankah kau minta juga kesucian ini
Bukan itu yang kumaksud
Tapi selendang yang kau balutkan dilehermu
Mengundangku tuk bercumbu dengan malaikat

Tiap pagi orang-orang berteriak memanggil A lalu I dan U
Menghujat manusia penghuni auditorium purnama
Gelagat dewapun menderu, mengejar mengalirkan ekstase
Untuk mengimpikan tiap ruas pulau Macquare di tengah laut

Dari pinggiran pantai Montavis sampai ujung selat Magdelon
Tertanam darah dan badai, itulah Tuhan
Yang menggambar manusia dalam bingkai
Laut Scotia bergejolak, keluar dari peta takdir

Sapen, Yogyakarta, 23 Februari 2003




Senin, November 17, 2008

Dewi

kuasa putih mendelikkan wajah pada tidur
lagi kutulis nama diatas desah yang beruarai rerambut dari surga
kisah,
yang melompat dari matamu adalah jiwaku.
jika kembali kau rebut sehelainya dari rumah kita..

pasti seribu duka menggunung pada leher dan jantungmu.

kubaca wajahmu,
sekepal arah kuhirup nafas dari mulutmu.
sekian inci telah kudengar luka dari telingamu.
den seperdualima warna dunia hilang,
ketika sebuah lesung bergoyang pada pipimu.

Dewi...

Jeda Sachree

Membunuh Di Bukit Cemara


Berlayang waktu pada matamu yang bertabur batu
Aku tahu kepak rindu mencubu ujung cintamu
Seperti juga engkau, masa mengikat jemari sejarah
yang terulang pada dentuman jiwa.
Perempuan.

Huh, sekali lagi untuk negeri kuungkap wajahmu kekasih
Hemberontaklah pada keperempuananmu.
Dulu pernah kau sanggul pada sarung batikmu
Tapi seuntai cinta.
Memberimu liar, duka menganga diatas jidad logika.
dengan tangis kau anggukkan kelemahan padaku.
Kurobek segala hormat, kukuak semua hasrat
Engkau tak ada.
Kekasih.

Sekali lagi puncak bukit bertabur bunga cemara kita daki
Untuk sekedar menemukan sebuah cerita bahgia.
Seperti juga duri-durinya pada sebatang kaktus,
Igaumu memberiku labirin waktu yang tak pernah usai.
Nestapamu adalah perempuan di negeri ini
Yang telah berkubang pada debu dan batu.
Tak ada beda. sumpah !

Hingga penantianmu di ujung perubahan tak kudatangi
Kau ludahkan segala realitas, untuk sekedar menelan malam
Dan kembali kau hilang dalam kekelamanya
Sayup kelelawar menceritakan kisah seribu perempuan luka
Engkau men-titik pada sekian noda yang pernah kau buang

Kekasih,
Engkau lemah.
Kekasih engkau jatuh pada rindu.
Dan meradangkan kepal sebesar kebencianmu padaku.

19 oktober 2008