Kamis, Mei 22, 2008

Jeda Sachree

Sepotong kepala di kebun tebu

mengeja waktu mengisolasi dili dalam bungkaman
bertekuk pada hujatan panjang si rakus
rubah warnaku kasih,
biar aku menjadi hitam agar tak berbeda denganmu
rubah aku kawan agar aku tidak menjadi putih
agar pucat menyapaku
dalam kerontang (puasa) aku dapat bertemu Tuhan

senja itu bunga tebu nampak menjulang
ketika kukejar serpih kuntumnya yang tak lebih adalah kapas putih
langit menjejaki sinarnya pada ruas batang mungilnya yang menguning
dan selambaian daun menitikkan jiwanya.

taman tebu terbakar!
begitulah teriakmu dengan tangis
enampuluh tahun lalu ratusan mayat mati ditengahnya
tubuh terhujam runcing tajam pohon tebu
darah menggenangi parit-paritnya yang tersumbat daun kering
matimu, ketika terpenggal kepala bapakmu.

dalam bingkai gurat tua yang tak usai
sentuh jemariku, untuk merakit kembali masamu

pada sebatang pohon jati yang kini tumbuh di pohon tebu
kugali mayat-mayat buta
menebar mantra menghidupkan sukma
bersama mesin-mesin pendulang cinta
darah hijau
hijau darah
dengan selembar rindu kungkap berontak!